Senin, 21 November 2016

SEJARAH REOG PONOROGO


Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya.

Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog, yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Reog mengacu pada beberapa babad, Salah satunya adalah babad Kelana Sewandana. Babad Klana Sewandana yang konon merupakan pakem asli seni pertunjukan reog. Mirip kisah Bandung Bondowoso dalam legenda Lara Jongrang, Babad Klono Sewondono juga berkisah tentang cinta seorang raja, Sewondono dari Kerajaan Jenggala, yang hampir ditolak oleh Dewi Sanggalangit dari Kerajaan Kediri. Sang putri meminta Sewondono untuk memboyong seluruh isi hutan ke istana sebagai mas kimpoi. Demi memenuhi permintaan sang putri, Sewandono harus mengalahkan penunggu hutan, Singa Barong (dadak merak)


Namun hal tersebut tentu saja tidak mudah. Para warok, prajurit, dan patih dari Jenggala pun menjadi korban. Bersenjatakan cemeti pusaka Samandiman, Sewondono turun sendiri ke gelanggang dan mengalahkan Singobarong. Pertunjukan reog digambarkan dengan tarian para prajurit yang tak cuma didominasi para pria tetapi juga wanita, gerak bringasan para warok, serta gagah dan gebyar kostum Sewandana, sang raja pencari cinta. Versi lain dalam Reog Ponorogo mengambil kisah Panji. Ceritanya berkisar tentang perjalanan Prabu Kelana Sewandana mencari gadis pujaannya, ditemani prajurit berkuda dan patihnya yang setia, Pujangganong. Ketika pilihan sang prabu jatuh pada putri Kediri, Dewi Sanggalangit, sang dewi memberi syarat bahwa ia akan menerima cintanya apabila sang prabu bersedia menciptakan sebuah kesenian baru. Dari situ terciptalah Reog Ponorogo. Huruf-huruf reog mewakili sebuah huruf depan kata-kata dalam tembang macapat Pocung yang berbunyi: Rasa kidung/ Ingwang sukma adiluhung/ Yang Widhi/ Olah kridaning Gusti/ Gelar gulung kersaning Kang Maha Kuasa. Unsur mistis merupakan kekuatan spiritual yang memberikan nafas pada kesenian Reog Ponorogo.

Tokoh-tokoh dalam seni tari REOG 

Jathil

Jathilan ini pada mulanya ditarikan oleh laki-laki yang halus, berparas ganteng atau mirip dengan wanita yang cantik. Gerak tarinya pun lebih cenderung feminin. Sejak tahun 1980-an ketika tim kesenian Reog Ponorogo hendak dikirim ke Jakarta untuk pembukaan PRJ (Pekan Raya Jakarta), penari jathilan diganti oleh para penari putri dengan alasan lebih feminin. Ciri-ciri kesan gerak tari Jathilan pada kesenian Reog Ponorogo lebih cenderung pada halus, lincah, genit. Hal ini didukung oleh pola ritmis gerak tari yang silih berganti antara irama mlaku (lugu) dan irama ngracik. Jathil adalah prajurit berkuda dan merupakan salah satu tokoh dalam seni Reog. Jathilan merupakan tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dibawakan oleh penari di mana antara penari yang satu dengan yang lainnya saling berpasangan. Ketangkasan dan kepiawaian dalam berperang di atas kuda ditunjukkan dengan ekspresi atau greget sang penari.

Warok 

"Warok" yang berasal dari kata wewarah adalah orang yang mempunyai tekad suci, memberikan tuntunan dan perlindungan tanpa pamrih. Warok adalah wong kang sugih wewarah (orang yang kaya akan wewarah). Artinya, seseorang menjadi warok karena mampu memberi petunjuk atau pengajaran kepada orang lain tentang hidup yang baik.Warok iku wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin).Artikel utama untuk bagian ini adalah: Warok
Warok merupakan karakter/ciri khas dan jiwa masyarakat Ponorogo yang telah mendarah daging sejak dahulu yang diwariskan oleh nenek moyang kepada generasi penerus. Warok merupakan bagian peraga dari kesenian Reog yang tidak terpisahkan dengan peraga yang lain dalam unit kesenian Reog Ponorogo. Warok adalah seorang yang betul-betul menguasai ilmu baik lahir maupun batin.

Barongan (Dadak merak)

Klono Sewandono Barongan (Dadak merak) merupakan peralatan tari yang paling dominan dalam kesenian Reog Ponorogo. Bagian-bagiannya antara lain; Kepala Harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan ditutup dengan kulit Harimau Gembong. Dadak merak, kerangka terbuat dari bambu dan rotan sebagai tempat menata bulu merak untuk menggambarkan seekor merak sedang mengembangkan bulunya dan menggigit untaian manik - manik (tasbih). Krakap terbuat dari kain beludru warna hitam disulam dengan monte, merupakan aksesoris dan tempat menuliskan identitas group reog. Dadak merak ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar sekitar 2,30 meter, dan beratnya hampir 50 kilogram.
Bujang Ganong (Ganongan)Klono Sewandono atau Raja Kelono adalah seorang raja sakti mandraguna yang memiliki pusaka andalan berupa Cemeti yang sangat ampuh dengan sebutan Kyai Pecut Samandiman kemana saja pergi sang Raja yang tampan dan masih muda ini selalu membawa pusaka tersebut. Pusaka tersebut digunakan untuk melindungi dirinya. Kegagahan sang Raja di gambarkan dalam gerak tari yang lincah serta berwibawa, dalam suatu kisah Prabu Klono Sewandono berhasil menciptakan kesenian indah hasil dari daya ciptanya untuk menuruti permintaan Putri (kekasihnya). Karena sang Raja dalam keadaan mabuk asmara maka gerakan tarinyapun kadang menggambarkan seorang yang sedang kasmaran.
Bujang Ganong (Ganongan) atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang enerjik, kocak sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri sehingga disetiap penampilannya senantiasa di tunggu - tunggu oleh penonton khususnya anak-anak. Bujang Ganong menggambarkan sosok seorang Patih Muda yang cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka dan sakti.
SUMBER:http://www.orangbejo.com/2015/11/sejarah-kesenian-tari-reog-ponorogo.html

Cara Membuat Singo Barong

Hasil gambar untuk cara bikin barongan
A) Peralatan yang digunakan


1) Gergaji. Gergaji digunakan untuk memotong dan membelah kayu glondongan yang akan dijadikan barongan, memotong bambu (Bahasa Jawa: pring).


2) Pisau besar dan pisau kecil. Pisau besar banyak fungsinya diantaranya untuk membelah bambu sebagai bahan penggapit jaranan agar lebih kuat, juga untuk meratakan bagian kulit yang agak menonjol atau untuk menipiskan kulit. Pisau kecil digunakan untuk meraut iratan bambu sebagai penggapit agar lebih halus dan digunakan untuk mengukir kepala barongan.


3) Tatah. Bentuk tatah ini ada bermacam-macam, mulai dari yang kecil sampai yang besar dan bentuk mata tatah ada 2 macam yaitu lurus dan cekung. Tatah lurus besar digunakan untuk memotong atau membentuk jaranan bagian luar, sedangkan yang kecil bisa digunakan untuk mengukir hiasan jaranan dan barongan.


Tatah cekung besar dipergunakan untuk memotong bentuk lengkung dan mengukir, sedangkan yang kecil dipergunakan untuk mengukir yang membutuhkan hiasan yang lengkung kecil.


4) Ganden. Ganden dipergunakan bersamaan dengan tatah, yaitu untuk memukul tatah pada saat dipergunakan menatah kulit.


5) Telenan/ lapakan. Telenan/ lapakan dipergunakan untuk landasan pada saat menata (mengukir) jaranan.


6) Pasrah. Pasrah ada 2 macam yaitu manual dan pasrah yang menggunakan listrik. Dipergunakan untuk meratakan ketebalan kulit dan menghaluskan kepala barongan.


7) Wungkal/ batu asah. Alat ini dipergunakan untuk mengasah pisau dan tatah apabila telah terasa agak tumpul.


8) Kuas. Kuas dipergunakan untuk mengecat bentuk detail jaranan dan kepala Barongan.


9) Cat. Cat dipergunakan untuk memberi warna secara detail dari bentuk jaranan dan kepala barongan.


B) Teknik Pembuatan Barongan di dalam budaya Turonggo Yakso


Bahan untuk membuat barongan terdiri dari kayu dan kulit. Bentuk kepala barongan secara keseluruhan terbuat dari kayu sedangkan hiasan bagian atas (jamang) terbuat dari kulit, ada beberapa jenis pohon/ kayu yang mempunyai tekstur serat bagus, tidak keras sehingga mudah dibentuk/ diukir apabila sudah kering ringan dan tidak mudah putus diantaranya: kayu waru, pule, dadap, dali, dan kayu wangkan. Teknik pembuatan, yaitu:


1) Kayu yang berupa glondongan kemudian dipotong dengan cara digergaji, panjangnya sekitar 50 cm, dan garis tengahya sekitar 30 cm, untuk membuat 1 barongan dibutuhkan 2 potong balok, yang akan dibuat untuk bagian atas dan bawah.


2) Setiap lingkaran balok dikurangi 1/3 dengan cara digergaji yang nanti dibuat untuk bagian kepala atas dan kepala bagian bawah, untuk membuat kepala barongan, 2 balok tersebut nanti bila sudah jadi ditangkupkan sehingga menjadi kepala bagian atas dan kepala bagian bawah.


3) Untuk membuat kepala bagian atas, pertama untuk bagian belakang dipotong sekitar 15 cm dan disisakan sedikit pada bagian kanan untuk pegangan tangan kanan, dan untuk membuat kepala bagian bawah juga sama bagian belakangnya dipotong sekitar 15 cm, tetapi disisakan sedikit pada sebelah kiri untuk pegangan tangan kiri.


4) Dua balok tersebut di tatah di cekungan, pertama mengukir kepala bagian atas yaitu: membentuk hidung, mata, alis, bibir, gigi, dan taringnya yang panjang. Secara keseluruhan bentuknya ular naga yang di stilir, sehingga digambarkan mata melotot, gigi menyeringai memperlihatkan taringnya. Kedua mengukir kepala bagian bawah yaitu membentuk bibir dan gigi, lidahnya tambahan terbuat dari kulit.


5) Jika sudah selesai semua terakhir adalah mengecat, yang sebelum diberi dasaran terlebih dahulu agar hasil nanti lebih maksimal, kemudian baru di cat yang sesuai dengan warna dan bentuk detail yang diinginkan.


6) Menangkupkan kepala bagian atas dan bawah, kemudian bagian tengah samping kiri kanan diberi pasak batangan besi, agar lebih kuat dan tidak mudah lepas.


7) Di atas alis diberi hiasan berdenyuk sisik ular dari bahan kulit, kemudian baru dipasang hiasan (jamang) dari bahan kulit yang ditatah (diukir) dan dicat sesuai dengan detail yang diinginkan. Secara keseluruhan bermotif garuda mungkur. Pada bagian atas belakang jamang, pada bagian kanan kirinya diberi klinting.


8) Kemudian pada bagian belakangnya ditutup dengan kain sepanjang 2 meter, kain tersebut di cat dengan motif sisik ular. Warnanya didominasi dengan warna merah.
SUMBER:http://ithinkeducation.blogspot.co.id/2013/04/pembuatan-barongan-di-dalam-budaya.html

Senin, 07 November 2016

Sejarah Singo Barong.



Di dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa sang Prabu berputera seorang putri yang sangat cantik. Putri tersebut bernama Dyah Ayu Songgolangit. Kecantikan Putri Songgolangit tersohor di seantero jagad sehingga banyak raja dari luar daerah Kediri yang ingin mempersuntingnya. Putri Songgolangit mempunyai adik laki-laki yang berparas tampan dan terampil bernama Raden Tubagus Putut.Untuk menambah wawasannya Raden Tubagus Putut pamit pada ayahandanya (Prabu Amiseno ) untuk berkelana dan menyamar sebagai masyarakat biasa. Sang Raden pun kemudian mengabdi pada kerajaan Bantar Angin yang dipimpin oleh Prabu Kelono Sewandono dan diberi gelar nama Patih Pujonggo Anom. Mendengar kecantikan Dyah Ayu SonggoLangit, Prabu Kelono Sewandono ingin meminangnya, maka diutuslah Patih Pujonggo Anom.Sebelum berangkat ke Kediri Pujonggo Anom memohon petunjuk kepada Sang Dewata agar dirinya tidak diketahui oleh ayahnya maupun kakaknya. Dan akhirnya diapun berangkat menuju Kerajaan Ngurawan dengan menyamar memakai topeng dengan harapan tidak diketahui oleh ayah dan kakaknya disana. Kedatangan Pujonggo Anom untuk melamar membuat terkejut Songgolangit, karena meskipun Pujonggoanom memakai topeng, ia mengetahui bahwa itu adiknya sendiri.Songgolangit menghadap ayahnya menyampaikan bahwa Pujonggo Anom itu adalah Raden Tubagus Putut adiknya sendiri. Mendengar penuturan itu maka murkalah sang ayah. Kemudian Prabu Amiseno mengutuk Pujonggo Anom bahwa topeng yang dikenakan pada wajahnya tidak bisa dilepas dari wajahnya. Pujonggo Anom pun mengatakan pada Songgolangit bahwa lamarannya itu sebetulnya untuk rajanya yaitu Prabu Kelono Sewandono. Akhirnya Songgolangit mengeluarkan suatu sayembara yang isinya: Dia menginginkan sebuah titian yang tidak berpijak pada tanah; Barang siapa dapat membuat tontonan yang belum ada di jagad ini, dan bilamana tontonan ini digelar dapat meramaikan jagad dengan iringan tetabuhan maka si pencipta tontonan berhak memperistri dirinya.Pujonggo Anom melaporkan permintaan Songgolangit kepada Prabu Kelono Sewandono. Karena merasa cukup sulit, akhirnya keduanya bersemedi memohon petunjuk Sang Dewata Agung. Dewata memberikan bahan berupa batang bambu, lempengan besi serta sebuah cambuk. Batang bambu digunakan untuk membuat kuda kepang yang melambangkan sebuah titian yang tidak berpijak pada tanah, lempengan besi dijadikan bahan tetabuhan.Akhirnya pasukan prajurit penunggang kuda dari Bantar Angin menuju Kerajaan Kediri dengan diiringi tetabuhan bisa menjadi tontonan yang belum pernah dilihat oleh masyarakat Kediri. Maka mulailah kesenian itu diberi nama Tari Jaran Kepang yang terdiri dari empat orang sebagai penari yang menggambarkan punggawa kerajaan yang sedang menunggang kuda dalam tugas mengawal raja.Tarian tersebut diiringi oleh satu unit musik gamelan Jawa. Di lain pihak Prabu Singo Barong merasa terdahului oleh Prabu Kelono Sewandono, maka murkalah Singo Barong dan terjadilah perang. Prabu Kelono Sewandono dapat mengalahkan Singo Barong berkat pecutnya. Singo Barong pasrah kepada Kelono Sewandono dan menyanggupi syarat menjadi pelengkap dalam pertunjukkan jaranan yang digelar di Kerajaan Kediri. Dengan bergabungnya Singo Barong dan patihnya Singo Kumbang maka genaplah penari jaranan berjumlah enam orang hingga sekarang ini.
sumber:http://foreverjaranan.blogspot.co.id/2011/04/sejarah-prabu-singo-barong.html